SEPUCUK SURAT DARI SULTAN OTTOMAN TURKI UNTUK SULTAN ACEH,
akhirnya muncul di jejaring sosial Twitter. Surat itu berasal dari abad ke-15.
Adalah akun Lost Islamic History @LostIslamicHist yang memuat surat itu
disertai pengantar, “A letter from the Ottoman sultan in #Istanbul to the sultan of #Aceh,.
Postingan itu memang tidak menjelaskan secara detail isi surat itu.
Namun, jika mengacu kepada sejarah. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki
hubungan diplomatik dengan Kesultanan Turki Utsmani sejak abad 15. Saat
itu Turki merupakan kerajaan kekhalifahan Islam terbesar di dunia
setelah berhasil menaklukkan Konstatinopel yang dikuasai pasukan Eropa.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Ottoman Turki Istambul dimulai
sejak masuknya pedagang-pedagang Eropa ke nusantara. Para pedagang asal
Eropa itu kerap mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan di semenanjung
Malaka, termasuk Aceh.
Guna menghadapi imperialisme bangsa Eropa
tersebut, Kerajaan Aceh mencari dukungan dari kerajaan-kerajaan tetangga
termasuk dari Khalifah Abdul Aziz dari ke khalifahan Turki Utsmani pada
tahun 1563 M.
Utusan dari Aceh membawa serta hadiah-hadiah
berharga dari Sultan untuk dipersembahkan kepada penguasa Turki.
Hadiah-hadiah itu antara lain berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Bersama utusan itu, Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah mengirimkan
sepucuk surat resmi kepada khalifah. Berikut petikan surat tersebut :
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki
dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami
sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak
dalam keadaan merdeka.
Sesudah itu kami diharuskan memperoleh
perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan
Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia
dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum
sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan
kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung
berisi perintah kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa
Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki
merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang
beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat
kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami.
Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta
pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan
Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang
Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri
tempat berkembangnya agama Islam.
Tambahan pula kepatuhan kami
kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami
selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami,
Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam
kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan
di darat.
Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran
perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami
telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang
Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan
kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi
warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke
seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai
dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia.
Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa
saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah
mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita. Semoga harapan
kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya
dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan
selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari
Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang
Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang
Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari Anthony Reid, ”Indonesian
Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign
of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81
(Terjemahan : R. Azwad).
Kerjasama yang ditawarkan Kerajaan Aceh
itu mendapat tanggapan dari Khalifah Turki Utsmani. Khalifah Abdul Aziz
segera mengirimkan surat balasan disertai alat-alat perlengkapan perang
(termasuk meriam yang kemudian dinamakan dengan meriam lada sicupak).
Selain itu, Sultan Turki juga mengirimkan bantuan berupa dua kapal
perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola
kapal-kapal tersebut. Di antara 500 orang tersebut terdapat ahli-ahli
militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran besar maupun
ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran besar.
Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta
perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh. Semuanya itu tiba
di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.
Mengenai bantuan dua buah kapal dan 500 orang awak kapal serta teknisi
tersebut, C.R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival
of The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan
dalam paper nya pada acara konferensi Internasional Sejarah Asia di
Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History,
University of Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang
berhasil sampai ke Turki itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam
terbesar itu mengenai keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di
Nusantara.
Keuntungan ini, kata dia, akan tercapai apabila
orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil diusir oleh pasukan
Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki.
Dalam suratnya, Sultan Turki
juga mengatakan sejak saat itu Aceh selaku negara bawah angin yang
berada di selat Malaka merupakan negara lindungan Imperium Turki di
bawah pemerintahan kekhalifahan. Artinya, siapapun yang mengganggu
kedaulatan Aceh, berarti akan berhadapan dengan pemerintahan
kekhalifahan Turki.
Selain tahun 1563 Masehi, hubungan antara
Turki dengan Aceh kembali dilakukan dan diperkuat tiga abad setelahnya
yaitu tahun 1850. Kerajaan Aceh yang diperintah oleh Sultan Ibrahim
Mansyur Syah mengirim Sidi Muhammad sebagai utusannya ke Turki.
Melalui sepucuk surat, Sultan meminta agar Turki bersedia melindungi Aceh dari rongrongan Inggris dan Belanda.
Sebagai hasilnya, Sultan Abdul Madjid dari Turki mengeluarkan dua
pengumuman resmi kerajaan yang berisikan kesediaan Turki untuk memenuhi
permintaan Sultan Ibrahim dan pengukuhannya sebagai Sultan Aceh (pada
saat itu, Sultan Ibrahim Mansyur Syah adalah pemangku Sultan, 1837-1857
dan baru saja dinobatkan sebagai Sultan Aceh menggantikan sultan Ali
Iskandar Syah yang memerintah Kerajaan Aceh sebelumnya).
Sultan
Abdul Madjid juga menginstruksikan Gubernur Yaman agar selalu
memperhatikan dan mengawasi kepentingan Aceh. (Anthony Reid, op. cit,
hal. 84).
Dukungan positif yang ditunjukkan Turki ini, tentu saja
disambut gembira oleh Sultan Ibrahim terutama yang berkaitan dengan isi
pengumuman kedua, dimana Turki memberikan dukungan politis kepada
Sultan Ibrahim untuk menjadi sultan Aceh.
Sultan Ibrahim Mansyur
Syah juga mendapatkan Bintang Penghargaan (Mejidie) dari Sultan Turki
sebagai ungkapan balas jasa atas kepercayaan Aceh terhadap negara
tersebut.
Namun, mengenai bantuan senjata yang diharapkan oleh
Aceh, sampai pecahnya perang Belanda di Aceh (1873) tidak pernah tiba
dari Turki.
Perlu diketahui, berdasarkan pemberitaan dari
Reuters, Turki sempat memberangkatkan puluhan kapal perang menuju Aceh
guna membantu menghadapi Belanda. Namun, akibat informasi yang
dikeluarkan oleh Reuters tersebut, Kerajaan Turki urung ikut campur
tangan disebabkan adanya tekanan negara internasional. Saat itu imperium
Turki sudah tidak kuat lagi seperti pada masa kekhalifahan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar