Acehitulahkami
Sabtu, 05 September 2015
LHOKSEUMAWE dalam lintas sejarah (3)
atjehgalleryLHOKSEUMAWE dalam lintas sejarah (3)
3.
SURAT izin pelayaran yang dikeluarkan
Tengku Maharaja Mangkubumi,
penguasa Bandar Teluk Samawi,
kepada Nakhoda Teuku Mat Amin.
Sebagaimana tertera, surat itu dikeluarkan
pada tahun 1242 H/1826 M., dan segel Teungku Maharaja Mangkubumi
Bandar Teluk Samawi yang dibubuhi atas
surat izin pelayaran. Inskripsi: "Ini 'alamah (cap?) Bandar Teluk Samawi, sanah .31. (Sumber foto: Adi Fa/Atjeh Gallery). Sebagai sebuah pelabuhan di tepi laut Selat Malaka, Teluk Seumawe juga telah dipuji-puji oleh seorang Kapten Laut Belanda, von Schmidt, sebagai sebuah daerah pelabuhan yang aman, nyaman, tenang dan sehat, dan secara keseluruhan merupakan pelabuhan terbaik di pesisir utara Aceh, dan sama sekali tidak kalah dengan pelabuhan Cilacap.
#lhokseumawe #wisatasejarah #lhokseumawedalamlintassejarah #aceh #atjehgallery 🙏
LHOKSEUMAWE dalam lintas sejarah 2.
LHOKSEUMAWE dalam lintas sejarah
2.
DALAM masa Kerajaan Aceh Darussalam, Lhokseumawe atau Teluk Seumawe memiliki kedudukan yang penting dalam kerajaan sebab rajanya mempunyai pertalian darah langsung dengan sultan sebagaimana diungkapkan oleh G. P. Tolson dalam tulisannya mengenai Aceh.
Dalam tulisan yang terbit pada 1880, Tolson mengatakan, "Di antara semua raja- raja negeri yang berada di pesisir utara dan timur Aceh, satu-satunya raja yang mengalir darah kesultanan Aceh di dalam nadinya hanyalah Tengku Maharaja Teluk Samawi, dan ia secara resmi memegang kekuasaan atas negeri-negeri di sepanjang pesisir timur, serta bertindak sebagai wakil sultan dalam mengumpulkan pembayaran pajak mereka." #lhokseumawe #wisatasejarah #lhokseumawedalamlintassejarah #aceh #atjehgallery 🙏- habapolemSejarah beutajaga, supaya geunerasi bangsa bek iepenget leu awak luwa.
LHOKSEUMAWE dalam Lintasan Sejarah (1)
LHOKSEUMAWE dalam Lintasan Sejarah
1.
SEJARAH AWAL LHOKSEUMAWE adalah daerah yang terletak di sebuah teluk
laut Selat Malaka, di pesisir utara Provinsi Aceh. Pada zaman lampau,
daerah ini lebih dikenal dengan nama Teluk Samawi sebab erat kaitannya
dengan sejarah Samathar (Sumatra/ Samudra). Para ahli purbakala
menyebutkan bahwa manusia telah menghuni daerah ini sejak zaman batu.
Ini dibuktikan dengan penemuan kerang sampah dapur (Kjokkenmoddinger)
yang berasal dari masa mesolithikum (Zaman Batu Tengah) di Lhokseumawe.
Namun
awal kemashuran Teluk Samawi yang sesungguhnya adalah sejak ia menjadi
sebuah bandar dan dermaga yang ramai di jalur pelayaran Selat Malaka
pada zaman Kerajaan Samudra Pasai/Sumatra (abad ke-13 M s/d ke-16 M).
Dalam masa itulah, daerah ini secara khusus menjadi daerah pemukiman
para pelaut dari Kerajaan Samudra Pasai yang terkenal sebagai pengembang
Islam ke seluruh Asia Tenggara. Hal ini telah dibuktikan oleh adanya
situs-situs pemakaman kuno di mana beberapa nama ahli pelayaran dan
navigator disebutkan pada batu nisan makam.
NISAN ahli Pelayaran/navigator bernama
Idapun Ahmad bin Idapun Ahmad.
Pada batu nisan terpahat kalimat-kalimat tauhid
dengan kaligrafi yang dibentuk sedemikian rupa
menyerupai bentuk-bentuk kapal/jung
yang populer di masa itu.
Nisan ini bersama ratusan nisan-nisan makam
bersejarah lainnya berada di Alue Lim,
Kecamatan Blang Mangat.
Foto: Repro CISAH (Central for Information of Samudra Pasai Heritage)
Dari
itu dapat diyakini pula bahwa berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkaitan dengan pelayaran serta manajemen pelabuhan telah
dikembangkan di daerah ini sejak zaman tersebut, dan telah menjadi suatu
sumbangan penting bagi peradaban Islam.
#lhokseumawe #wisatasejarah #lhokseumawedalamlintassejarah #aceh #atjehgallery 🙏
TEUKU MUHAMMAD DAUD CUMBOK
https://instagram.com/p/7QKEtilnJG/?taken-by=atjehgallery
TEUKU MUHAMMAD DAUD CUMBOK
TEUKU MUHAMMAD DAUD CUMBOK
Kita
Butuh orang2 seperti Daud cumbok yang bersedia mati sebagai patriot
dengan memilih cara kematian yang menakjubkan. berbaring ditepi kubur
mengucap dua kalimah syahdat seraya memberi aba aba kepada algojo yg mau
menghukum mati dirinya.
Tembak,,,,!! peluru algojopun mencabut nyawanya.
untuk
membebaskan aceh,daripada ratusan bahkan ribuan pemberontak yg akhirnya
perjuangan choh ujong, tanpa menghasilkan apa apa selain peukumbong
prut droe.
timbul lagi kelompok sempalan yg tak puas dengan keadaan mengakibatkan aceh selalu dirundung masalah.
#cumbok #daudcumbok #perangcumbok 🙏😰
Kamis, 20 Agustus 2015
BUKTI OTENTIK KEDAULATAN ACEH
BUKTI OTENTIK KEDAULATAN ACEH
1. MESJID RAYA BAITURRAHMAN
>>> sebuah Mesjid yang berada dipusat kota Banda Aceh. Mesjid ini dahulunya merupakan mesjid Kesultanan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang Aceh pada tahun 1873 mesjid ini dibakar lalu pada tahun 1875 Belanda membangun kembali mesjid sebagai penggantinya
2. GUNONGAN
>>> Tempat yang dibangun oleh Iskandar Muda atas permintaan Putroe Phang atau putri Kamaliah yang berasal dari Pahang yang dibawa ke Aceh oleh sultan Iskandar Muda setelah Pahang ditaklukkan oleh kerajaan Aceh Darussalam.
GUNONGAN ini terletak ditaman Putroe Phang sebagai tempat bermain permaisuri Sultan Iskandar Muda.
4. LONCENG CAKRA DONYA
>>> Hadiah dari Tiongkok yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho sebagai bentuk kerja sama antara Aceh dengan Tiongkok. Lonceng ini pernah dipakai oleh Samudera Pasai sebagai genderang perang melawan Portugis, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Aceh Darussalam.
Hadiah ini juga sebagai tanda persahabatan antara Negara Aceh dan Negara Cina.
5. KHERKHOFF PEUCUT
>>>Komplek kuburan perwira Belanda yang tewas dalam perang melawan Aceh, jumlahnya lebih 2000, Nisan yang tertanam didalamnya. Komplek kuburan Belanda yang terbesar didunia dalam sejarah Belanda, belum lagi ditempat lain lainnya yang tersebar diseluruh Aceh. Hal ini melambangkan kegigihan bangsa Aceh dalam mempertahankan kedaulatan dan harga diri bangsa.
6. BENTENG INDRA PATRA
>>> Peninggalan kerajaan Hindu pertama diAceh yang digunakan sebagai tempat peribadatan dan benteng pertahanan dari gangguan musuh. Kemudian benteng pertahanan ini direbut oleh kerajaan Islam Aceh dan dijadikan sebagai benteng pertahanan yang dipimpin oleh Laksamana perang perempuan Aceh yaitu Laksamana Malahayati.
7. RUMOH ACEH
>>>Rumah adat Aceh yang sekarang difungsikan tempat menyimpan ribuan peninggalan sejarah Aceh mulai dari peninggalan sejarah pra modern hingga masa penjajahan Indonesia sekarang ini.
8. KAPAI SEULAWAH AGAM
>>>Merupakan sumbangan bangsa Aceh kepada RI sebagai sarana kemerdekaan indonesia.
Saat ini kapai seulawah agam di monumenkan pada lapangan blang padang Banda Aceh.
Akhirnya semua pengorbanan bangsa Aceh dikhianati oleh bangsa indonesia demi utk kepentingan ambisinya (menjajah).
SEPUCUK SURAT DARI SULTAN OTTOMAN TURKI UNTUK SULTAN ACEH.
SEPUCUK SURAT DARI SULTAN OTTOMAN TURKI UNTUK SULTAN ACEH,
akhirnya muncul di jejaring sosial Twitter. Surat itu berasal dari abad ke-15.
Adalah akun Lost Islamic History @LostIslamicHist yang memuat surat itu disertai pengantar, “A letter from the Ottoman sultan in #Istanbul to the sultan of #Aceh,.
Postingan itu memang tidak menjelaskan secara detail isi surat itu. Namun, jika mengacu kepada sejarah. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hubungan diplomatik dengan Kesultanan Turki Utsmani sejak abad 15. Saat itu Turki merupakan kerajaan kekhalifahan Islam terbesar di dunia setelah berhasil menaklukkan Konstatinopel yang dikuasai pasukan Eropa.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Ottoman Turki Istambul dimulai sejak masuknya pedagang-pedagang Eropa ke nusantara. Para pedagang asal Eropa itu kerap mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaka, termasuk Aceh.
Guna menghadapi imperialisme bangsa Eropa tersebut, Kerajaan Aceh mencari dukungan dari kerajaan-kerajaan tetangga termasuk dari Khalifah Abdul Aziz dari ke khalifahan Turki Utsmani pada tahun 1563 M.
Utusan dari Aceh membawa serta hadiah-hadiah berharga dari Sultan untuk dipersembahkan kepada penguasa Turki. Hadiah-hadiah itu antara lain berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Bersama utusan itu, Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah mengirimkan sepucuk surat resmi kepada khalifah. Berikut petikan surat tersebut :
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka.
Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami.
Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam.
Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat.
Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita. Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari Anthony Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Kerjasama yang ditawarkan Kerajaan Aceh itu mendapat tanggapan dari Khalifah Turki Utsmani. Khalifah Abdul Aziz segera mengirimkan surat balasan disertai alat-alat perlengkapan perang (termasuk meriam yang kemudian dinamakan dengan meriam lada sicupak).
Selain itu, Sultan Turki juga mengirimkan bantuan berupa dua kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal tersebut. Di antara 500 orang tersebut terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran besar maupun ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran besar.
Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh. Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.
Mengenai bantuan dua buah kapal dan 500 orang awak kapal serta teknisi tersebut, C.R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival of The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan dalam paper nya pada acara konferensi Internasional Sejarah Asia di Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History, University of Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang berhasil sampai ke Turki itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam terbesar itu mengenai keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara.
Keuntungan ini, kata dia, akan tercapai apabila orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil diusir oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki.
Dalam suratnya, Sultan Turki juga mengatakan sejak saat itu Aceh selaku negara bawah angin yang berada di selat Malaka merupakan negara lindungan Imperium Turki di bawah pemerintahan kekhalifahan. Artinya, siapapun yang mengganggu kedaulatan Aceh, berarti akan berhadapan dengan pemerintahan kekhalifahan Turki.
Selain tahun 1563 Masehi, hubungan antara Turki dengan Aceh kembali dilakukan dan diperkuat tiga abad setelahnya yaitu tahun 1850. Kerajaan Aceh yang diperintah oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah mengirim Sidi Muhammad sebagai utusannya ke Turki.
Melalui sepucuk surat, Sultan meminta agar Turki bersedia melindungi Aceh dari rongrongan Inggris dan Belanda.
Sebagai hasilnya, Sultan Abdul Madjid dari Turki mengeluarkan dua pengumuman resmi kerajaan yang berisikan kesediaan Turki untuk memenuhi permintaan Sultan Ibrahim dan pengukuhannya sebagai Sultan Aceh (pada saat itu, Sultan Ibrahim Mansyur Syah adalah pemangku Sultan, 1837-1857 dan baru saja dinobatkan sebagai Sultan Aceh menggantikan sultan Ali Iskandar Syah yang memerintah Kerajaan Aceh sebelumnya).
Sultan Abdul Madjid juga menginstruksikan Gubernur Yaman agar selalu memperhatikan dan mengawasi kepentingan Aceh. (Anthony Reid, op. cit, hal. 84).
Dukungan positif yang ditunjukkan Turki ini, tentu saja disambut gembira oleh Sultan Ibrahim terutama yang berkaitan dengan isi pengumuman kedua, dimana Turki memberikan dukungan politis kepada Sultan Ibrahim untuk menjadi sultan Aceh.
Sultan Ibrahim Mansyur Syah juga mendapatkan Bintang Penghargaan (Mejidie) dari Sultan Turki sebagai ungkapan balas jasa atas kepercayaan Aceh terhadap negara tersebut.
Namun, mengenai bantuan senjata yang diharapkan oleh Aceh, sampai pecahnya perang Belanda di Aceh (1873) tidak pernah tiba dari Turki.
Perlu diketahui, berdasarkan pemberitaan dari Reuters, Turki sempat memberangkatkan puluhan kapal perang menuju Aceh guna membantu menghadapi Belanda. Namun, akibat informasi yang dikeluarkan oleh Reuters tersebut, Kerajaan Turki urung ikut campur tangan disebabkan adanya tekanan negara internasional. Saat itu imperium Turki sudah tidak kuat lagi seperti pada masa kekhalifahan.[]
akhirnya muncul di jejaring sosial Twitter. Surat itu berasal dari abad ke-15.
Adalah akun Lost Islamic History @LostIslamicHist yang memuat surat itu disertai pengantar, “A letter from the Ottoman sultan in #Istanbul to the sultan of #Aceh,.
Postingan itu memang tidak menjelaskan secara detail isi surat itu. Namun, jika mengacu kepada sejarah. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hubungan diplomatik dengan Kesultanan Turki Utsmani sejak abad 15. Saat itu Turki merupakan kerajaan kekhalifahan Islam terbesar di dunia setelah berhasil menaklukkan Konstatinopel yang dikuasai pasukan Eropa.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Ottoman Turki Istambul dimulai sejak masuknya pedagang-pedagang Eropa ke nusantara. Para pedagang asal Eropa itu kerap mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaka, termasuk Aceh.
Guna menghadapi imperialisme bangsa Eropa tersebut, Kerajaan Aceh mencari dukungan dari kerajaan-kerajaan tetangga termasuk dari Khalifah Abdul Aziz dari ke khalifahan Turki Utsmani pada tahun 1563 M.
Utusan dari Aceh membawa serta hadiah-hadiah berharga dari Sultan untuk dipersembahkan kepada penguasa Turki. Hadiah-hadiah itu antara lain berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Bersama utusan itu, Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah mengirimkan sepucuk surat resmi kepada khalifah. Berikut petikan surat tersebut :
“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka.
Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.
Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami.
Hanya kepada Yang Mulia dan kerajaan Yang Mulialah kami meminta pertolongan rahmat Ilahi, Turkilah tongkat lambang kekuasaan kemenangan Islam untuk hidup kembali dan akhirnya hanya dengan perantaraan Yang Mulialah terdapat keyakinan hidup kembali di seluruh negeri-negeri tempat berkembangnya agama Islam.
Tambahan pula kepatuhan kami kepada pemerintahan Ottoman dibuktikan dengan kenyataan, bahwa kami selalu bekerja melaksanakan perintah Yang Mulia. Bendera negeri kami, Bulan Sabit terus bersinar dan tidak serupa dengan bendera manapun dalam kekuasaan pemerintahan Ottoman; ia berkibar melindungi kami di laut dan di darat.
Walaupun jarak kita berjauhan dan terdapat kesukaran perhubungan antara negeri kita namun hati kami tetap dekat sehingga kami telah menyetujui untuk mengutus seorang utusan khusus kepada Yang Mulia, yaitu Habib Abdurrahman el Zahir dan kami telah memberitahukan kepada beliau semua rencana dan keinginan kami untuk selamanya menjadi warga Yang Mulia, menjadi milik Yang Mulia dan akan menyampaikan ke seluruh negeri semua peraturan Yang Mulai.
Semoga Yang Mulai dapat mengatur segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Yang Mulia. Selain itu kami berjanji akan menyesuaikan diri dengan keinginan siapa saja Yang Mulia utus untuk memerintah kami.
Kami memberi kuasa penuh kepada Habib Abdurrahman untuk bertindak untuk dan atas nama kami.
Yang Mulia dapat bermusyawarah dengan beliau karena kami telah mempercayakan usaha perlindungan demi kepentingan kita. Semoga harapan kami itu tercapai. Kami yakin, bahwa Pemerintah Yang Mulia Sesungguhnya dapat melaksanakannya dan kami sendiri yakin pula,bahwa Yang Mulia akan selalu bermurah hati”.
Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari Anthony Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Kerjasama yang ditawarkan Kerajaan Aceh itu mendapat tanggapan dari Khalifah Turki Utsmani. Khalifah Abdul Aziz segera mengirimkan surat balasan disertai alat-alat perlengkapan perang (termasuk meriam yang kemudian dinamakan dengan meriam lada sicupak).
Selain itu, Sultan Turki juga mengirimkan bantuan berupa dua kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal tersebut. Di antara 500 orang tersebut terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran besar maupun ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran besar.
Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh. Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.
Mengenai bantuan dua buah kapal dan 500 orang awak kapal serta teknisi tersebut, C.R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival of The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan dalam paper nya pada acara konferensi Internasional Sejarah Asia di Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History, University of Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang berhasil sampai ke Turki itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam terbesar itu mengenai keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara.
Keuntungan ini, kata dia, akan tercapai apabila orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil diusir oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki.
Dalam suratnya, Sultan Turki juga mengatakan sejak saat itu Aceh selaku negara bawah angin yang berada di selat Malaka merupakan negara lindungan Imperium Turki di bawah pemerintahan kekhalifahan. Artinya, siapapun yang mengganggu kedaulatan Aceh, berarti akan berhadapan dengan pemerintahan kekhalifahan Turki.
Selain tahun 1563 Masehi, hubungan antara Turki dengan Aceh kembali dilakukan dan diperkuat tiga abad setelahnya yaitu tahun 1850. Kerajaan Aceh yang diperintah oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah mengirim Sidi Muhammad sebagai utusannya ke Turki.
Melalui sepucuk surat, Sultan meminta agar Turki bersedia melindungi Aceh dari rongrongan Inggris dan Belanda.
Sebagai hasilnya, Sultan Abdul Madjid dari Turki mengeluarkan dua pengumuman resmi kerajaan yang berisikan kesediaan Turki untuk memenuhi permintaan Sultan Ibrahim dan pengukuhannya sebagai Sultan Aceh (pada saat itu, Sultan Ibrahim Mansyur Syah adalah pemangku Sultan, 1837-1857 dan baru saja dinobatkan sebagai Sultan Aceh menggantikan sultan Ali Iskandar Syah yang memerintah Kerajaan Aceh sebelumnya).
Sultan Abdul Madjid juga menginstruksikan Gubernur Yaman agar selalu memperhatikan dan mengawasi kepentingan Aceh. (Anthony Reid, op. cit, hal. 84).
Dukungan positif yang ditunjukkan Turki ini, tentu saja disambut gembira oleh Sultan Ibrahim terutama yang berkaitan dengan isi pengumuman kedua, dimana Turki memberikan dukungan politis kepada Sultan Ibrahim untuk menjadi sultan Aceh.
Sultan Ibrahim Mansyur Syah juga mendapatkan Bintang Penghargaan (Mejidie) dari Sultan Turki sebagai ungkapan balas jasa atas kepercayaan Aceh terhadap negara tersebut.
Namun, mengenai bantuan senjata yang diharapkan oleh Aceh, sampai pecahnya perang Belanda di Aceh (1873) tidak pernah tiba dari Turki.
Perlu diketahui, berdasarkan pemberitaan dari Reuters, Turki sempat memberangkatkan puluhan kapal perang menuju Aceh guna membantu menghadapi Belanda. Namun, akibat informasi yang dikeluarkan oleh Reuters tersebut, Kerajaan Turki urung ikut campur tangan disebabkan adanya tekanan negara internasional. Saat itu imperium Turki sudah tidak kuat lagi seperti pada masa kekhalifahan.[]
Langganan:
Postingan (Atom)